Langsung ke konten utama

Perjuangan Mang Yayat : Si “Tahu Baca”

         Tingkat kegemaran membaca di Indonesia masih tergolong rendah. Survei Central Connecticut State University memosisikan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei, hanya setingkat di atas Botswana. Kajian ini mengurutkan tingkat literasi negara-negara yang disurvei dengan menggunakan beberapa variabel, seperti hasil PISA, jumlah perpustakaan, sirkulasi surat kabar, sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer (Indeks Aktivitas Literasi Membaca, Puslitjakdikbud, 2019).

Pada hakikatnya, tidak ada syarat khusus untuk menjadi seorang penggiat literasi. Siapa pun dengan latar belakang apa pun bisa melakukannya. Hal ini dibuktikan oleh Bapak Rudiat atau yang akrab dipanggil Mang Yayat, si penjual tahu keliling warga Kampung Pasirhuni, Kabupaten Bandung. Istimewanya, ia berjualan tahu dengan membawa sebuah kotak berisi buku-buku yang ia pinjamkan gratis pada masyarakat.

Sepeda motor yang digunakan Mang Yayat untuk berjualan tahu sekaligus menebar ‘virus’ membaca kepada masyarakat.
(Sumber foto : Dok. Mang Yayat)

Kisah Perjuangan

Desakan ekonomi yang mengimpit keluarganya memaksa Mang Yayat harus berhenti sekolah di bangku kelas 4 SD. Tidak heran banyak cemoohan yang harus ia terima. Di usia yang baru menginjak 11 tahun, ia diharuskan menjadi tulang punggung keluarga dan mencari nafkah bersama ibunya. Namun, hal tersebut tidak melunturkan kegemarannya dalam membaca, sehingga sebagian uang hasil kerja ia belikan buku bekas untuk dipelajari. Ilmu dari buku-buku yang dibaca, ia jadikan sebagai modal dalam menjalani usaha, seperti membuat kerajinan tangan yang kemudian dijual di Alun-Alun Banjaran untuk menambah penghasilan.

Di tahun 1998, Mang Yayat menikah dengan Ratna Suminar atau biasa dipanggil Bi Isum yang juga sosok penggiat literasi. Sadar akan manfaat dan pengaruh membaca, dengan bermodalkan beberapa buku dan rumah 4x4 m yang ia miliki, mereka bertekad untuk mendirikan perpustakaan di rumahnya agar masyarakat yang kurang mampu ataupun putus sekolah, bisa tetap belajar secara gratis dan dapat mengembangkan potensi dalam dirinya. Taman bacaan tersebut kemudian diberi nama “Sehati”.

“Kami lihat ada rak bekas jualan mi instan, tumbuh di hati saya dan istri untuk membuat perpustakaan biar bisa bagi ilmu ke masyarakat dengan gratis.” Kenang pria tegar itu. Senyum tulus terpancar jelas dari wajah ramahnya. Di tengah kondisi masyarakat kampung dengan tingkat pendidikan rendah, Mang Yayat sebagai pemuda berdedikasi mengambil langkah awal penuh rintangan untuk memajukan kampung tempat tinggalnya.

Pada saat itu, pria kelahiran 5 Maret 1978  yang bekerja sebagai tukang tahu keliling masih menyisihkan sebagian hasil jualan untuk dibelikan buku. Sedangkan istrinya bekerja di tukang barang bekas untuk dikirim ke sebuah pabrik. Jika menemukan buku bekas yang layak dibaca, maka ia minta dan disimpan pada perpustakaan di rumahnya. Hingga pada awal 2000, koleksi buku di perpustakaan sudah mencapai 200 buah.

Sembari membawa motor berkeliling jualan tahu, Mang Yayat juga membawa kotak berisi buku-buku di motornya dengan bertuliskan Tahu Baca. “Jika ingin pintar, maka membaca buku. Dan jika ingin sehat, maka membeli tahu “ ujar Mang Yayat sembari tertawa kecil mengenangnya. Di samping mengadakan perpustakaan keliling, ia juga mengadakan gerakan membaca dan gelaran buku di sekitar kampung tempat tinggalnya. 

Perpustakaan yang dirintis Mang Yayat di rumahnya.
(Sumber : Dok. Mang Yayat)

Namun, pada kenyataannya, mengajak masyarakat untuk membaca bukanlah hal yang mudah. Ia harus melawan paradigma masyarakat kampung yang beranggapan bahwa membaca buku tidaklah bermanfaat, lebih baik menghabiskan waktu dengan bekerja dan menghasilkan uang. Sampai-sampai tak jarang ia dimaki dan dihina. Namun kobaran api semangat dalam dirinya semakin menyala. Makian itu ia jadikan pecut untuk berlari lebih kencang, bulatnya tekad Mang Yayat tidak membuatnya menyerah untuk membuktikan bahwa yang ia lakukan sangatlah penting dan bermanfaat untuk masa depan. 

Mang Yayat saat dikunjungi sastrawan dan pegiat literasi Golagong.

(Sumber: Akun  Facebook Mang Yayat Sehati)

Selain sebagai tempat membaca buku, perpustakaan di rumah ini juga mengadakan kegiatan-kegiatan edukasi untuk anak yang kurang mampu atau putus sekolah dalam mengembangkan potensi diri mereka sebagai modal dalam menjalani kehidupan. Seperti pembelajaran melukis, membuat kerajinan, menulis, dan lain-lain. Hal ini ia lakukan agar tidak ada orang lagi yang bernasib kurang beruntung seperti Mang Yayat saat kecil. Hingga di tahun 2003, tidak kurang dari 4.000 buku sudah tersusun rapi dalam rak perpustakaan.

Meski pada awalnya hanya beberapa dan hanya orang sekitar saja yang menjadi anggota TBM Sehati, lambat laun perpustakaan ini kian ramai. Bahkan tidak hanya dari warga Kampung Pasirhuni saja, warga kampung sekitar juga mulai berdatangan dan ikut mendaftar. Respon masyarakat yang awalnya menantang, perlahan-lahan mulai berubah. Seperti kata pepatah, “Sekeras-kerasnya batu jika ditetesi air, maka akan rapuh juga”.

Tidak sampai di situ, pemerintah daerah setempat pun mulai mendukung kegiatan sosial yang ditekuni Mang Yayat. Hingga tahun 2013, dengan izin operasional dari desa, TBM Sehati resmi didirikan. Rasa bahagia dan luapan emosi dapat terpampang jelas dari caranya berbicara. Tenaga dan pikiran yang ia korbankan, akhirnya berbuah manis seperti yang diharapkan.

Kesungguhan dan kegigihan Mang Yayat dalam menanamkan rasa cinta pada buku di kalangan warga kampung, sedikit demi sedikit mengubah cara pandang masyarakat terhadap buku. Rasa peduli warga mulai tumbuh dan perlahan banyak pihak yang memberikan dukungan. Hinaan dan cacian mulai senyap terdengar, tergantikan sayup-sayup pujian serta doa dan harapan.

Pada 2013 silam, beberapa media cetak mulai berdatangan untuk meliput kegiatan TBM Sehati yang ia bina, seperti Pikiran Rakyat, Galamedia, Tribun Jabar, hingga media cetak nasional seperti Harian Republika dan Harian Media Indonesia. Stasiun televisi nasional, Metro TV,  juga pernah datang melakukan liputan. Mang Yayat dan istri sempat kaget, karena tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiran akan ada media yang mewawancarai dan menerbitkan berita tentangnya. Benar-benar seperti mimpi.

Berkat liputan-liputan tersebut, TBM Sehati menjadi semakin terkenal. Banyak komunitas maupun lembaga yang datang berkunjung. Banyak pula para donatur yang memberikan bantuan, baik berupa buku maupun biaya kebutuhan. TBM sehati yang awalnya berada di tempat tinggal Mang Yayat, akhirnya memiliki bangunan sendiri.

Keharuan Mang Yayat membuncah saat ia mendapat penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka untuk kategori Masyarakat dan Media dari Perpustakaan Nasional. Republik Indonesia. Segala perjuangannya selama ini mendapat apresiasi yang tidak pernah dibayangkan, bahkan dari pemerintah pusat. Tak hanya itu, Kampung Pasirhuni pun dinobatkan sebagai Desa Literasi oleh Bupati Kabupaten Bandung.

Mang Yayat saat menerima penghargaan.
(Sumber foto: Dok. Mang Yayat)

Keberhasilan Mang Yayat saat ini tidak lepas dari perjuangannya sejak 1997. Latar belakang pendidikan formal yang hanya sampai kelas 4 SD tak membuatnya gentar dalam mewujudkan cita-cita mulianya. Hingga saat ini, Yayasan TBM Sehati memiliki 58 anak binaan dan memiliki lebih dari 14.000 buah buku yang disediakan gratis untuk masyarakat.

Mang Yayat dengan motor baru dari pemerintah pusat terus semangat berjuang menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan literasi masysarakat.
(Sumber foto : Akun Facebook Mang Yayat Sehati)

Bagi Mang Yayat, buku adalah guru yang tidak pernah memarahi. Bahkan dengan sebuah buku, bisa merubah kehidupan seseorang, seperti yang ia alami. Mang Yayat berharap, keberadaan buku di kalangan masyarakat bisa lebih diapresiasi. Sehingga semua orang bisa mengambil manfaat dan mengambil langkah perubahan dalam hidupnya.


Oleh : Hadiyanto 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Panjat Pinang

  Anak-anak ini sedang belajar bahwa untuk meraih kesuksesan harus dilalui dengan kerjasama dan kerja keras, bukan dengan cara licik dan picik. "Dirgahayu Indonesia!" Oleh : Bapak Ismail Kusmayadi

Berbagi Di Tengah Pandemi

Berbagi tidak selalu berkaitan dengan uang, namun berbagi juga bisa dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Oleh : Ismail Fauzi